Masa Depan Sarjana Hukum Kita

29
Agu 2023
Kategori : Kolom
Penulis : Prof. Dr.Ibnu Sina Chandranegara, S.H., M.H.
Dilihat :59x

Masa depan merupakan sesuatu yang menarik dipertanyakan dikarenakan dapat melahirkan dua pertanyaan yang penting yaitu, apakah kita dapat memandang masa depan dengan optimis, atau justru pesimis. Suatu sikap yang optimis akan disadari apabila mengetahui bahwa kekuatan kita jauh lebih kuat daripada tantangan yang dihadapi. Sedangkan sebaliknya, kita akan bersikap pesimis ketika diketahui bahwa ternyata kemampuan yang kita miliki ternyata belum cukup untuk menghadapi tantangan di masa mendatang. Terlepas dari apapun kesimpulannya nanti, pemetaan terhadap tantangan masa depan menjadi hal yang penting karena akan terus mendorong kita untuk memiliki tekad memperkuat kapasitas diri kita.

Opini saya ini dimaksudkan untuk mampu menjawab bagaimana dengan masa depan sarjana hukum kita? Pertanyaan utama tersebut akan mampu dijawab apabila kita mampu menjawab dua pertanyaan pendahuluan: tantangan apa yang akan dihadapi sarjanan hukum kita ke depan? hal apa saja yang perlu diantisipasi oleh para sarjana hukum kita?

Apabila merunut waktu, usia pendidikan hukum di Indonesia telah berjalan lebih dari satu abad. Opleidingsschool voor de Inlandsche Rechtskundigen tercatat sebagai bentuk pertama lembaga pendidikan hukum di Indonesia yang berkedudukan yang setara dengan pendidikan menengah. Sekolah ini didirikan dengan maksud untuk mendidik pegawai pemerintah Hindia Belanda agar memahami dan memiliki keterampilan berhukum. Pada tahun 1922, Opledingsschool berubah nama menjadi Rechtsschool. Lembaga pendidikan hukum ini bertahan sampai dengan 18 Mei 1928, kemudian dibubarkan. Sebelumnya, lembaga pendidikan ini telah tidak menerima siswa baru sejak tahun 1925. Sebagai gantinya, pada tanggal 28 Oktober 1924 lembaga pendidikan tinggi hukum didirikan dengan nama Rechtshoogesschool.

Sekalipun pada mulanya penyelenggaraan pendidikan hukum lebih berorientasi pada hal-hal yang pragmatis, namun demikian sejarah telah mencatat bahwa lulusan pendidikan hukum dan pendidikan tinggi hukum ini tidak hanya memiliki pemahaman dan kemahiran berhukum, tetapi juga mampu memberikan kontribusi pemikiran dan melahirkan semangat nasionalisme, terhadap kemerdekaan Indonesia. Mereka yang telah belajar hukum ini, baik pada Rechtsschool/Rechtshoogesschool maupun yang berkesempatan melanjutkan pendidikan tinggi hukum di Belanda, telah menjadi peletak dasar Indonesia sebagai Negara merdeka yang berkarakter negara (hukum) modern.

Setelah lebih dari satu abad, pendidikan tinggi hukum (Indonesia) berjalan dengan problematika keilmuan yang memunculkan berbagai spekulasi penilaian yang berbeda-beda. Di satu sisi, menilai bahwa pendidikan tinggi hukum telah berusaha untuk menjawab berbagai tantangan zaman yang terus berkembang sehingga melahirkan corak pendidikan tinggi hukum yang sedikit banyak berbeda dibandingkan dengan pendidikan hukum yang konvensional, dan ini dianggap sebagai keniscayaan (conditio sine qua non). Sementara kelompok yang lain menilai bahwa perkembangan pendidikan tinggi hukum telah melacurkan diri menjadi pendidikan sosial, dengan pendekatan dan metode ilmu-ilmu sosial, sehingga perlu dilakukan reorientasi.

Apabila merujuk evaluasi yang dilakukan oleh berbagai Guru Besar Ilmu Hukum, ternyata tujuan pendidikan hukum tidak otonom. Tujuan dari pendidikan hukum sangat bergantung pada apa yang dikehendaki oleh suatu pemerintahan ataupun kondisi yang spesifik berlaku di Indonesia. Namun, bila dilihat dari lulusan yang dihasilkan oleh fakultas hukum, berbagai tujuan pendidikan hukum tidak berpengaruh secara signifikan. Terlepas berbagai beberapa pandangan tersebut, pendidikan tinggi hukum memiliki peran yang penting dalam pencapaian tujuan negara.

Saat ini, pendidikan tinggi hukum yang diasosiasikan sebagai fakultas hukum merupakan salah satu fakultas yang paling banyak didirikan di Indonesia. Hingga tahun 2018 telah ada 330 pendidikan tinggi hukum yang terdiri dari 306 fakultas dan 24 sekolah tinggi. Menurut perhitungan, jika masing-masing meluluskan 100 orang setiap tahun, maka dalam setiap tahun ada 13.000 sarjana hukum baru di Indonesia. Jumlah sesungguhnya saat ini tentu lebih besar lagi karena penerimaan mahasiswa baru setiap tahun cenderung mengalami peningkatan. Faktanya ada fakultas hukum yang menerima hingga 700-an mahasiswa baru. Sebagai produsen Sarjana Hukum, tentu ukuran paling relevan terhadap keberhasilan pendidikan tinggi hukum adalah apakah lulusan itu memiliki peran positif bagi perkembangan bidang hukum.

Oleh karena itu, tidak salah jika ada gugatan terhadap eksistensi dan peran pendidikan tinggi hukum jika melihat kondisi hukum di Indonesia yang belum banyak berubah. Terlebih lagi hadirnya Revolusi Industri 4.0 atau The Fourth Industrial Revolution (4IR) yang tidak dapat dipungkiri merupakan konsep yang secara luas kerap diperbincangkan. Pembicaraan secara mendunia oleh berbagai kalangan khususnya para ekonom mengambil suatu kesimpulan terkini: bergulirnya 4IR ditengarai akan mendorong perubahan besar terhadap masa depan pendidikan khususnya dalam mempercepat peningkatan kemampuan berinovasi.

Berdasarkan gambaran-gambaran di awal, maka tantangan yang dihadapi masa mendatang adalah yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dekade-dekade sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, pergerakan peran materi hukum sebagai sarana stimulus (liberalization). Kedua, tendensi penurunan biaya jasa hukum konvensional (the more for less problem). Ketiga, perkembangan sarana yang mendukung sistem sosial yang berkarakter hyper-konektif (the hyper-connectivity society).

Sumber tantangan yang pertama itu dilahirkan dari segi perkembangan materi hukum kita. Di masa depan akan ada kecenderungan mereformulasi bentuk materi hukum yang mampu mengorientasikan diri kepada misi (mission-driven). Pandangan ini akan semakin menjadi arah perencanaan materi hukum ke depan disebabkan sistem sosial yang juga semakin bergerak ke arah hyper-connectivity, yaitu sistem sosial yang berorientasi pada misi dan inovasi. Paradigma klasik yang meletakan materi hukum sebagai patron-patron dalam bertindak (rule-driven) menjadi jauh ditinggalkan. Sebaliknya isu tentang rasionalisasi regulasi akan terus berkembang hingga menemukan titik keseimbangan antara regulasi yang dianggap sebagai sarana membatasi berjalan seimbang dengan regulasi sebagai sarana stimulasi (pembebasan).

Selanjutnya sumber tantangan yang kedua sesungguhnya akibat dari sumber daya manusia kita. Jumlah sarjana hukum yang meningkat setiap tahun jelas akan meningkatkan daya saing antar para sarjana hukum apalagi dengan tren perkembangan satu dekade belakangan. Teknologi mulai memainkan peran yang lebih dalam pemberian jasa hukum (legal service) kepada para pihak yang membutuhkan. Peran teknologi yang demikian masif mengakibatkan preferensi pengguna jasa hukum akan beralih kepada produk-produk jasa hukum berbasis teknologi yang mampu menggantikan sebagian peran sarjana hukum.

Kemampuan penelusuran literatur dan sumber hukum yang pada dua atau tiga dekade lalu hanya dimiliki para sarjana hukum, kini telah digantikan oleh berbagai sistem informasi dokumen hukum. Pengguna jasa hukum bisa mendapatkan informasi tersebut tanpa membutuhkan seorang sarjana hukum lagi. Sarjana hukum hanya diperlukan ketika literatur atau sumber hukum yang telah ditemukan perlu penjelasan mengenai normanya.

Bahkan kondisi terkini juga sudah menyediakan berbagai penjelasan yang dibutuhkan di berbagai teknologi hukum. Kondisi ini melahirkan apa yang dikemukakan Richard Susskind bahwa di masa depan biaya jasa hukum akan semakin kompetitif—apabila tidak mau menyebut murah. Kondisi inilah yang biasa disebut sebagai the more for less problem, yaitu situasi yang mendesak adanya pemberian jasa hukum yang memiliki ruang lingkup yang luas dengan harga yang lebih murah.

Hal ini disebabkan perkembangan materi hukum yang semakin memiliki konektivitas dan perubahan kebijakan seperti pergeseran red light legal policy ke green light legal policy. Pergeseran ini mengakibatkan biaya jasa hukum menjadi semakin murah serta berakibat adanya kompetisi kreatifitas sarjana hukum di masa mendatang. Mereka tidak lagi hanya akan bergerak di bidang jasa, namun juga menghasilkan produk hukum yang sudah semakin berkembang dewasa ini.

Terakhir adalah sumber tantangan ketiga yang sesungguhnya didorong oleh perkembangan teknologi dan informasi. Perkembangan teknologi dan informasi mengakibatkan perkembangan kebiasaan pemberian jasa hukum. Perkembangan teknologi dan arus informasi mengakibatkan pemberian jasa hukum ditafsirkan dengan produk teknologi itu sendiri. Dahulu banyak sarjana hukum diperlukan dalam melakukan inventaris dan mengindentifikasi sumber hukum untuk keperluan bisnis atau pemerintahan. Kini masalah itu dipecahkan dengan berbagai sistem informasi hukum yang mampu menemukan aturan yang terkonsolidasi maupun memetakan sumber hukum berdasarkan isu hukum yang diatur.

Perkembangan teknologi ini jelas memberikan kemudahan dalam studi hukum ketika seseorang menempuh pendidikan hukum sekaligus menjadi kompetitor di dunia profesi hukum. Pada akhirnya, tantangan ini akan melahirkan produk-produk teknologi yang berfungsi sebagai pemberi jasa hukum. Di sisi lain, semua kemampuan sarjana hukum ikut menciptakan teknologi yang demikian juga akan mengakibatkan tumbuhnya berbagai pekerjaan baru misalnya legal knowledge engineer, legal technologist, legal process analysist, legal data scientist, legal risk manager atau Praktisi Online Dispute Resolution (ODR).

Tiga tantangan tadi jelas akan mempengaruhi cara berhukum para sarjana hukum kita. Istilah berhukum yang saya maksud adalah bagaimana membuat dan menegakkan hukum. Pembuatan dan penegakan hukum di masa depan akan mengalami paradigma jauh lebih “industrialis”. Paradigma ini akan membawa aspek positif yaitu dekolonialisasi materi-materi dan prosedur-prosedur hukum. Meski di sisi lain juga bisa berimbas kepada desakralisasi prinsip-prinsip rule of law menjadi rule by law.

Para sarjana hukum kita di masa mendatang perlu lebih memiliki kemampuan intrapersonal dan interpersonal yang mumpuni. Dua kemampuan tersebut adalah kemampuan beradaptasi dan kemampuan berkolaborasi. Kemampuan beradaptasi bukanlah kemampuan yang sporadis, melainkan dengan perencanaan. Setiap sarjana hukum kita harus mampu mengenali dan memetakan persoalan-persoalan di masyarakat sehingga dapat memetakan dan merencanakan bagaimana seorang sarjana hukum bersikap, berkarir, dan menciptakan inovasi dalam karirnya. Kemampuan adaptasi akan memerlukan kemampuan penguasaan teknologi, informasi, dan bahasa asing.

Penguasaan terhadap ketiganya akan memudahkan untuk menuju kemampuan berikutnya yaitu berkolaborasi. Saat ini kolaborasi adalah salah satu cara yang signifikan dalam meningkatkan derajat kemampuan akademik dan praktis, jenjang karir, jaringan (networking), dan peningkatan nilai. Kemampuan kolaborasi juga akan meningkatkan daya saing bagi seorang sarjana hukum kita di masa depan.

Seringkali dalam perkuliahan-perkuliahan saya memberikan suatu situasi paradoks kekinian yang terjadi dalam profesi hukum kita. Contohnya, seorang sarjana hukum ketika menjalankan studinya akan dididik untuk bekerja secara orisinal. Mereka didorong berupaya menulis karya ilmiah sesuai dengan kemandirian berpikir dengan patron metode riset yang telah baku. Namun, di dalam praktik dunia kerja justru sarjana hukum dididik untuk bekerja sesuai batas-batas yang telah ditentukan apabila tidak mau disebut menjiplak. Hal ini menunjukan bahwa selalu ada kesenjangan antara bagaimana seharusnya dengan bagaimana senyatanya dalam praktik hukum.

Kondisi ini merupakan kenyataan yang perlu disadari sebagai tantangan yang harus dihadapi. Namun, bukan berarti pula kondisi ini menjadikan sikap kita dalam berhukum menjadi skeptis. Toh semua tantangan ini juga membuat para sarjana hukum kita menemukan cara untuk meminimalisir deviasi penerapan hukum dan defisit kesadaran hukum akibat minimnya pemahaman materi-materi hukum.

Pada akhirnya, saya ingin berpesan untuk tetap optimis menghadapi tantangan zaman. Setiap orang ada zamannya dan setiap zaman ada orangnya. Postulat ini memberikan keyakinan kepada kita bahwa waktu akan menentukan relevansi kita. Hukum di masa-masa seperti ini sedang mengalami masa transformasi bentuk-bentuk hukum. Tentu kita semua harus memiliki kemampuan beradaptasi yang baik dan membuka sebesar-besarnya peluang untuk berkolaborasi.

*)Prof. Dr.Ibnu Sina Chandranegara, S.H., M.H., adalah Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Lihat Sumber

Tidak ada komentar

Tinggalkan komentar